Selasa, 08 Maret 2011

WAWASAN TENTANG MANUSIA DAN MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN


Tulisan ini akan membahas tentang wawasan tentang manusia dan masyarakat dalam perspektif kebudayaan, yang mencakup: (a) Masyarakat dan unsur-unsur masyarakat, (b) Kebudayaan, (c) Unsur-unsur universal dan sifat hakekat kebudayaan, (d) Wujud kebudayaan, dan (e) Orientasi nilai budaya.

A.   Masyarakat dan unsur-unsur masyarakat

Terbentuknya komunitas bernama masyarakat adalah implikasi logis dari realisasi kemanusiaan dengan fitrahnya sebagai homo socious (makhluk bermasyarakat). Hubungan antar individu dengan keinginan dan tujuan yang sama pada akhirnya membentuk sebuah sistem sosial yang dinamakan masyarakat.

Dalam pandangan Koentjaraningrat (1989:138), masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kolektif dimana manusia itu bergaul dan berinteraksi. Interaksi antar individu dengan keinginan dan tujuan yang sama tersebut pada akhirnya melahirkan kebudayaan. Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain, sementara kebudayaan adalah suatu sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut. Melalui kebudayaan, manusia menciptakan tatanan kehidupan yang ideal di muka bumi.

Masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan merupakan sistem sosial yang pengaruh-mempengaruhi satu sama lain (Shadily, 1980: 31; Soekanto, 1993: 466). Dengan demikian hidup bermasyarakat merupakan bagaian integral karakteristik dalam kehidupan manusia. Kita tidak dapat membayangkan, bagaimana jika manusia tidak bermasyarakat. Sebab sesungguhnyalah individu-individu tidak bisa hidup dalam keterpencilan sama sekali selama-lamanya, karena manusia itu adalah mahluk sosial. Manusia membutuhkan satu sama lain untuk bertahan hidup dan untuk hidup sebagai manusia (Campbell, 1994: 3).
Kesalingtergantungan individu atas lainnya maupun kelompok ini menghasilkan bentuk-bentuk kerjasama tertentu yang bersifat ajeg, dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu yang merupakan sebuah keniscayaan.. Jadi, sebuah masyarakat pada dasarnya adalah sebentuk tatatanan; ia mencakup pola-pola interaksi antar manusia yang berulang secara ajeg pula. Tatanan ini bukan berarti tanpa konflik ataupun tanpa kekerasan, semuanya serba mungkin, serta kadarnya jelas bervariasi dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya. Akan tetapi, bagaimanapun rendahnya suatu masyarakat tetap tidak hanya sekedar penjumlahan beberapa manusia, melainkan sebuah pengelompokan yang teratur dengan keajegan-keajegan interaksi yang jelas.
Istilah ”masyarakat” atau society, sekarang telah memperoleh trend baru dengan dikaitkannya dengan kata ”sipil” menjadi ”masyarakat sipil” atau civil society. Walaupun hal ini merupakan sebuah konsep lama sebenarnya, namun dalam pemikiran sosial dan politik belakangan ini bangkit kembali, baik itu di Eropa Barat, Eropa Timur, Asia, maupun Afrika. Secara tradisional, tepatnya pada abad 18 istilah tersebut kurang lebih sekedar terjemahan istilah Romawi ”societas civilis” atau istilah Yunani ”koinonia politike” yang artinya ”masyarakat politik” Ketika John Locke berbicara pemerintahan politik atau J.J. Rousseau tentang etat civil, mereka bicara tentang dunia politik, masyarakat sipil merupakan arena bagi warganegara yang secara aktif secara politik, dalam masyarakat beradab yang berdasarkan hubungan-hubungan dalam suatu sistem hukum, dan bukannya pada tatanan hukum otokratis yang korup (Kumar, 2000: 114).
Adalah Hegel, Gramsci, dan Tosqueville yang berjasa mengembangkan makna konsep modern ”masyarakat sipil”. Hegel dalam bukunya yang berjudul Philosophy of Right (1821), Gramsci dalam The Prison Notebooks (1929-1935), dan Tosqueville dalam Democracy in America, sebagai wadah kehidupan etis yang terletak di antara kehidupan keluarga dan kehidupan kewargaraan yang ditentukan oleh ”permainan bebas” kekuatan-kekuatan politik,ekonomi, budaya dan pencarian jati diri individual dan lembaga-lembaga sosial kenegaraan yang mewadahi dan mengatur kehidupan dan sekaligus berperan sebagai proses pendidikan bagi kehidupan kenegaraan secara rasional (Kumar, 2000: 114). Namun pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah konsep itu hanya merupakan suatu himbauan moral atau slogan, ataukah hal itu mengandung substansi yang berarti dalam menunjang penciptaan lembaga-lembaga konkret yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan?

B.   Kebudayaan
Istilah kebudayaan (culture) berasal dari bahasa Latin yakni ”cultura” dari kata dasar ”colere” yang berarti ”berkembang tumbuh”. Namun secara umum pengertian ”kebudayaan” mengacu kepada kumpulan pengetahuan yang secara sosial yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Makna ini kontras dengan pengertian ”kebudayaan” sehari-hari yang hanya merujuk kepada bagian-bagian tertentu warisan sosial, yakni tradisi sopan santun dan kesenian (D’Andrade, 2000: 1999).
Secara harfiah, istilah kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Demikian kebudayaan itu dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal (Koentjaraningrat, 1994:9). Mempertegas pendapatnya, Koentjaraningrat (1990:181) mengemukakan adanya sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai perkembangan dari majemuk budi-daya, yang berarti daya dari budi. Karena itu mereka membedakan budaya dari kebudayaan. Demikianlah budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa itu.
Definisi kebudayaan yang disusun oleh Sir Edward Taylor (Horton, 1996:58; Harsojo, 1988:92; Soekanto, 2003:172) menyebut bahwa kebudayaan adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikemukakan bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat. Hal tersebut dipertegas oleh pendapat Soekanto (2003:173) yang menyatakan bahwa budaya terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif, yang mencakup segala cara atau pola-pola berfikir, merasakan dan bertindak.
Di sisi lain, Koentjaraningrat (1994:9) mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Definisi tersebut menegaskan bahwa dalam kebudayaan mensyaratkan terjadinya proses belajar untuk mampu memunculkan ide atau gagasan dan karya yang selanjutnya menjadi kebiasaan. Pembiasaan yang dilakukan melalui proses belajar itu berlangsung secara terus menerus dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964:113) mengusulkan definisi kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Berdasarkan definisinya tersebut, Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964:113) menjelaskan bahwa karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan (material culture) yang diperlukan oleh masyarakat untuk menguasai alam di sekitarnya, agar kekuatannya serta hasilnya dapat diabdikan pada keperluan masyarakat.
Rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Di dalamnya termasuk agama, ideologi, kebatinan, kesenian dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi dari jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat.
Selanjutnya cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir dari orang-orang yang hidup bermasyarakat dan yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu-ilmu pengetahuan, baik yang berwujud teori murni, maupun yang telah disusun untuk diamalkan dalam kehidupan masyarakat. Semua karya, rasa dan cipta dikuasai oleh karsa dari orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau seluruh masyarakat.
Berkaitan dengan esensi budaya, Tasmara (2002:161) mengemukakan bahwa kandungan utama yang menjadi esensi budaya adalah sebagai berikut:
1)    Budaya berkaitan erat dengan persepsi terhadap nilai dan lingkungannya yang melahirkan makna dan pandangan hidup yang akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku (the total way of life a people).
2)    Adanya pola nilai, sikap, tingkah laku (termasuk bahasa), hasil karsa dan karya, termasuk segala instrumennya, sistem kerja, teknologi (a way thinking, feeling and believing).
3)    Budaya merupakan hasil pengalaman hidup, kebiasaan-kebiasaan serta proses seleksi (menerima atau menolak) norma-norma yang ada dalam cara dirinya berinteraksi sosial atau menempatkan dirinya di tengah-tengah lingkungan tertentu.
4)    Dalam proses budaya terdapat saling mempengaruhi dan saling ketergantungan (interdependensi), baik sosial maupun lingkungan nonsosial.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa budaya merupakan hasil pengalaman hidup yang berkaitan erat dengan persepsi terhadap nilai dan lingkungannya yang melahirkan makna dan pandangan hidup yang akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku.
Sementara itu, dengan mempelajari beberapa rumusan kebudayaan yang disampaikan para ahli, Harsojo (1988:93) sampai pada kesimpulan bahwa kebudayaan meliputi seluruh kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan, yang harus didapatkannya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan definisinya itu, Harsojo (1988:94) mengemukakan pokok-pokok kebudayaan sebagai berikut:
1)    kebudayaan yang terdapat antara umat manusia itu sangat beranekaragam
2)    kebudayaan itu didapat dan diteruskan secara sosial dengan pelajaran
3)    kebudayaan terjabarkan dari komponen biologis, psikologis dan sosiologis dari eksistensi manusia
4)    kebudayaan itu berstruktur
5)    kebudayaan itu terbagi dalam beberapa aspek
6)    kebudayaan itu dinamis, dan
7)    nilai dalam kebudayaan itu relatif

Pokok-pokok kebudayaan sebagaimana dikemukakan di atas menunjukkan bahwa kebudayaan merupakan aktivitas perilaku manusia yang sangat kompleks.
Kebudayaan mempengaruhi segenap kehidupan sosial, sehingga sering dipandang sebagai semua cara hidup atau way of life yang harus dipelajari dan diharapkan dan yang sama-sama harus ditaati oleh para anggota masyarakat  tertentu atau para anggota dari suatu kelompok tertentu (Taneko,1984:61).  Melalui budaya, setiap kelompok budaya menghasilkan jawaban-jawaban khususnya sendiri terhadap tantangan-tantangan hidup. Budaya memudahkan kehidupan dengan memberikan solusi-solusi yang telah disiapkan untuk memecahkan masalah-masalah dengan menetapkan pola-pola hubungan, dan cara-cara memelihara kohesi dan konsensus kelompok.
Sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial, kebudayaan digunakan untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi. Dengan demikian pada hakikatnya, kebudayaan adalah suatu mekanisme adaptif terhadap lingkungan.
Tentu saja definisi di atas hanya sedikit memuaskan bagi para antropolog, sebab begitu beragamnya definisi kebudayaan sempat mencemaskan makin dalamnya perpecahan dan menimbulkan kemerosotan efektivitas disiplin ilmu (Saifuddin, 2005: 83). Sebagai contoh Kroeber dan Kluckhohn dalam Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions (1952) bahwa ternyata pada tahun itu ada 160 definisi kebudayaan. Hal itu pula yang dirasakan antropolog Roger M. Kessing dalam Cultural Anthropology: A Contemporary Perspective. mengamati bahwa ”tantangan bagi antropolog dalam tahun-tahun terakhir adalah dipersempitnya ”kebudayaan” sehingga konsep ini mencakup lebih sedikit tetapi menggambarkan lebih banyak” (1984: 73).
Selanjutnya Keesing mengidentifikasi empat pendekatan terakhir terhadap masalah kebudayaan. Pendekatan pertama, yang memandang kebudayaan sebagai sistem adaptif dari keyakinan perilaku yang fungsi primernya adalah menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan sosialnya. Pendekatan ini dikaitkan dengan ekologi budaya dan materialisme kebudayaan, serta bisa ditemukan dalam kajian atropolog Julian Steward (1955), Leslie White (1949; 1959), dan Marvin Harris (1968; 1979). Pendekatan kedua, yang memandang bahwa kebudayaan sebagai sistem kognitif yang tersusun dari apapun yang diketahui dalam berpikir menurut cara tertentu, yang dapat diterima bagi warga kekebudayaannya. Pendekatan tersebut memiliki banyak nama dan diasosiasikan dengan; etnosains, antropologi kognitif, atau etnografi baru. Para tokoh kelompok ini adalah Harold Conklin (1955), Ward Goodenough (1956; 1964), dan Charles O.Frake (1964, 1963; 1969).
Pendekatan ketiga, yang memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbol-simbol yang dimiliki bersama yang memiliki analogi dengan struktur pemikiran manusia. Tokoh-tokoh antropolognya adalah kelompok strukturalisme yang dikonsepsikan oleh Claude Levi-Strauss (1963; 1969). Sedangkan pendekatan keempat, adalah yang memandang kebudayaan sebagai sistem simbol yang terdiri atas simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diidentifikasi, dan bersifat publik. Pendekatan tersebut tokoh antropolognya adalah Cifford Geertz (1973; 1983) dan David Schneider (1968).

 

C.   Unsur-unsur Universal Kebudayaan dan Sifat Hakekat Kebudayaan

Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri dari unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan (Soekanto, 2003:175). Karena itu, suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (folkways) dan tata kelakuan (mores), tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi.
Luasnya bidang kebudayaan menimbulkan adanya telaahan mengenai apa sebenarnya unsur-unsur kebudayaan itu. Herkovits (Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, 1964:115) mengemukakan adanya empat unsur pokok dalam kebudayaan, yaitu 1) alat-alat teknologi (technological equipment), 2) sistem ekonomi (economic sistem), 3) keluarga (family), dan 4) kekuasaan politik (political control).
Selanjutnya Bronislaw Malinowski (Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, 1964:115) menyebut unsur-unsur pokok kebudayaan sebagai berikut:
1)    the normative system (yang dimaksudkan adalah sistem norma-norma yang memungkinkan kerjasama antara para anggota masyarakat agar menguasai alam sekitarnya.
2)    economic organization (organisasi ekonomi),
3)    mechanism and agencies of education (alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan dimana keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama, dan
4)    the organization of force (organisasi militer).
Menurut Soekanto (2003:176), untuk kepentingan ilmiah dan analisisnya, masing-masing unsur tersebut diklasifikasikan ke dalam unsur-unsur pokok (besar) kebudayaan yang lazim disebut cultural universal. Istilah ini menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal, yaitu dapat dijumpai pada setiap kebudayaan di manapun di dunia ini.
Kluckhohn menguraikan adanya tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universal, yaitu:
1)    peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi transportasi dan sebagainya)
2)    mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya)
3)    sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan)
4)    bahasa (lisan maupun tertulis)
5)    kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya)
6)    sistem pengetahuan
7)    religi (sistem kepercayaan)
(Koentjaraningrat, 1994:9; Soekanto, 2003:176)

Cultural universal tersebut di atas, dapat dijabarkan lagi ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil. Linton (Soekanto, 2003:177) menjabarkan unsur-unsur tersebut menjadi kegiatan-kegiatan kebudayaan (cultural activity), yang dirinci ke dalam trait complex, dan dirinci lagi ke dalam item. Penjabaran unsur-unsur universal selanjutnya dapat dilukiskan sebagai berikut: Pertama, Kegiatan-kegiatan kebudayaan (cultural activity). Sebagai contoh, cultural universal mata pencaharian hidup dan ekonomi, antara lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan lain-lain. Kesenian misalnya, meliputi kegiatan-kegiatan seperti seni tari, seni rupa, seni suara dan lain-lain.
Kedua, trait-complex, sebagai rincian dari kegiatan-kegiatan kebudayaan dicontohkan dengan kegiatan pertanian menetap yang meliputi unsur-unsur irigasi, sistem mengolah tanah dengan bajak, teknik mengendalikan bajak, dan seterusnya. Dan ketiga, unsur kebudayaan terkecil yang membentuk traits adalah items. Apabila diambil contoh dari alat bajak tersebut di atas, maka bajak terdiri dari gabungan alat-alat atau bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dapat dilepaskan, akan tetapi pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Apabila salah satu bagian bajak tersebut dihilangkan, maka bajak tadi tak dapat melaksanakan fungsinya sebagai bajak.
Menurut Bronislaw Malinowski tak ada suatu unsur kebudayaan yang tidak mempunyai kegunaan yang cocok dalam rangka kebudayaan sebagai keseluruhan (Soekanto, 2003:177). Apabila ada unsur kebudayaan yang kehilangan kegunaannya, unsur tersebut akan hilang dengan sendirinya. Kebiasaan-kebiasaan serta dorongan, tanggapan yang didapat dengan belajar serta dasar-dasar untuk organisasi, harus diatur sedemikian rupa, sehingga memungkinkan pemuasan kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.
Walaupun setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang beraneka ragam dan berbeda-beda, namun menurut Soekanto (2003:182) setiap kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang berlaku umum bagi semua kebudayaan di manapun berada, yaitu:
1)    kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari peri kelakuan manusia
2)    kebudayaan telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.
3)    kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkahlakunya.
4)    kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan.
Berdasarkan sifat hakikat kebudayaan tersebut jelaslah bahwa kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, yang meliputi aspek perilaku dan kemampuan manusia, ia menjadi milik hakiki manusia di manapun berada dan keberlangsungan suatu budaya akan sangat ditentukan oleh masyarakat pendukung kebudayaan itu.

D.   Wujud Kebudayaan
Talcott Parson, seorang Sosiolog dan A.L. Kroeber (Koentjaraningrat, 1990:186), seorang antropolog pernah menganjurkan untuk membedakan secara tajam wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktifitas manusia yang berpola. Secara eksplisit, kedua ahli tersebut mengelompokkan budaya ke dalam dua wujud, yaitu wujud ide dan konsep, dan wujud tindakan dan aktivitas manusia.
Dengan merujuk pendapat J.J. Honigmann yang membedakan tiga gejala kebudayaan, yaitu 1) ideas, 2) activities, dan 3) artifact, Koentjaraningrat (1990:186; 1994:5) berpendirian bahawa kebudayaan itu memiliki tiga wujud, yaitu:
1)    wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.
2)    wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3)    wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Ketiga wujud kebudayaan tersebut dalam kenyataannya di masyarakat tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sehingga sebagai kesatuan yang utuh, kebudayaan itu memberikan arah terhadap pikiran, tindakan, dan hasil karya masyarakat.
Kebudayaan ideal bersifat abstrak, ia merupakan kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan sebagainya, yang berfungsi sebagai pengatur, pengendali, dan pemberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Wujud kebudayaan pertama ini sering disebut sebagai sistem budaya (cultural sistem). Dalam wujud pertama ini terkandung empat hierarki kebudayaan yang tersusun mulai yang paling abstrak sampai yang paling konkret, yaitu: 1) tingkat nilai budaya, 2) tingkat norma-norma, 3) tingkat hukum, dan 4) tingkat aturan khusus (Koentjaraningrat, 1994:11).
Wujud kebudayaan sebagai sistem sosial (social sistem) bersifat konkret, karena terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain dengan mengikuti pola-pola tertentu. Sedangkan wujud kebudayaan fisik (physical culture atau material culture) merupakan seluruh total hasil fisik dari aktifitas perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, oleh karena itu sifatnya jauh lebih konkret.

E.    Orientasi Nilai Budaya
Nilai-nilai budaya adalah wujud ideal dari kebudayaan yang merupakan konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar anggota masyarakat. Secara fungsional, nilai budaya berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan manusia.
Menurut Kluckhohn dan Strodtbeck (Koentjaraningrat, 1990:78) konsepsi mengenai isi dari nilai budaya yang secara universal ada dalam tiap kebudayaan menyangkut paling sedikit lima hal, yaitu 1) masalah human nature, atau makna hidup manusia; 2) masalah man nature, atau makna dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya; 3) masalah time, atau persepsi manusia mengenai waktu; 4) masalah activity, atau soal makna dari pekerjaan, karya dan amal perbuatan manusia, dan 5) masalah relational, atau hubungan manusia dengan sesama manusia. Kelima masalah tersebut sering disebut sebagai orientasi nilai budaya (value orientation).
Dalam pandangan Poedjawijatna (1986) sebagaimana dikemukakan oleh Syamsulbachri (2004:52) mengemukakan bahwa:
Bentuk orientasi kebudayaan setiap individu akan tergantung dari bagaimana tujuan yang ingin dicapai individu tersebut serta kemampuan individu tersebut dalam memahami nilai-nilai yang diperoleh dari ajaran agama, kebudayaan itu sendiri dan kebudayaan dari luar.
Sementara itu, Warnanen (1989:34) mengemukakan bahwa perilaku manusia yang didasarkan pada nilai-nilai budaya dalam kehidupannya di dunia dapat dilihat melalui hubungan manusia dengan pribadinya, dengan masyarakatnya, dengan Tuhannya, dengan alamnya, dan hubungan dalam mencari kesejahteraan lahir dan batin.
Kedua pendapat di atas menegaskan bahwa orientasi manusia terhadap nilai budaya akan tergantung pada hakikat kedudukan manusia dalam kehidupannya serta kesadarannya terhadap keharmonisan hubungan dengan penciptanya yang tumbuh dari pengakuannya sebagai makhluk yang diciptakan dan memiliki peran khusus dalam kehidupannya di dunia.
Cara berbagai kebudayaan mengkonsepsikan orientasi nilai budaya universal dapat berbeda-beda. Kluckhohn dan Strodtbeck, sebagaimana dikutip oleh Koentjaraningrat (1990:79) mengemukakan kemungkinan orientasi nilai budaya sebagaimana dilihat dalam tabel berikut:
Tabel Variasi Orientasi Nilai Budaya Manusia
Masalah Dasar Hidup
Kemungkinan Variasi Orientasi Nilai Budaya
KONSERVATIF
TRANSISI
PROGRESIF
Hakikat hidup (MH)

Hidup itu buruk

Hidup itu baik

Hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik
Hakikat karya (MK)

Karya itu untuk nafkah hidup

Karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dan sebagainya
Karya itu untuk menambah kaya
Persepsi manusia tentang waktu (MW)
Orientasi ke masa lalu

Orientasi ke masa kini

Orientasi ke masa depan

Pandangan manusia terhadap alam (MA)
Manusia tunduk kepada alam yang dahsyat

Manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam
Manusia berhasrat menguasai alam

Hakikat hubungan antara manusia dengan sesamanya

Orientasi kolateral (horizontal), rasa kebergantungan pada sesamanya (berjiwa gotong royong)
Orientasi vertikal, rasa kebergantungan pada tokoh-tokoh atasan dan pangkat

Individualisme menilai tinggi usaha atas kakuatan sendiri

Sumber: Koentjaraningrat (1990: 79).
Berdasarkan tabel di atas, dapat dikemukakan bahwa berbagai kebudayaan mengkonsepsikan masalah-masalah universal tersebut dengan berbagai variasi yang berbeda-beda. Dalam masalah mengenai hakikat dari hidup manusia terdapat kebudayaan yang memandang bahwa hidup itu buruk, hidup itu baik, dan hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik.
Dalam masalah mengenai hakikat dari karya manusia, terdapat kebudayaan yang memandang bahwa karya itu untuk nafkah hidup, karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dan sebagainya, dan kebudayaan yang memandang bahwa karya itu untuk menambah karya.
Dalam masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia terhadap waktu, terdapat kebudayaan yang berorientasi ke masa depan, berorientasi ke masa kini, dan yang berorientasi ke masa lalu.
Dalam masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, terdapat kebudayaan yang memandang bahwa manusia harus tunduk kepada alam yang dahsyat, manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam, dan manusia berhasrat untuk menguasai alam.
Terakhir, dalam masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya, terdapat kebudayaan yang berorientasi kolateral (horizontal), yaitu rasa ketergantungan pada sesamanya (berjiwa gotong royong), berorientasi vertikal, yaitu rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh atasan dan berpangkat, dan kebudayaan yang berorientasi individualisme, yaitu menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri.
Selain menunjukkan perberbedaan dalam hal memecahkan masalah yang bernilai dalam hidup, variasi orientasi nilai budaya juga berarti bahwa seorang individu dapat menganut suatu pola orientasi nilai budaya dalam satu lapangan hidup, disamping pola-pola orientasi lain. Kluckhohn dan Strodtbeck membedakan adanya paling sedikit empat lapangan hidup, yaitu lapangan hidup keluarga, lapangan hidup sosial, lapangan hidup pekerjaan dan profesi, dan lapangan hidup agama (Koentjaraningrat, 1990:82).
Variasi orientasi nilai budaya yang dikembangkan oleh Kluckhohn dan Strodtbeck tersebut oleh Felly (1994:104) diklasifikasikan sebagai nilai budaya konservatif, nilai budaya progresif dan nilai budaya transisional. Ketiga klasifikasi itu adalah sebagai berikut:
1)    Orientasi nilai budaya konservatif
Orientasi nilai budaya ini memandang hidup itu buruk, kerja hanya untuk menjamin kelangsungan hidup, orientasi waktu ke masa lalu, alam dipersepsikan sangat dahsyat maka manusia harus tunduk terhadap hukum alam, serta memiliki orientasi sosial vertikal.
2)    Orientasi nilai budaya progresif
Orientasi nilai budaya ini memandang hidup itu buruk tetapi harus diperjuangkan agar lebih baik, kerja semata-mata untuk mendapatkan prestasi yang tinggi, orientasi waktu ke masa depan, hasrt yang tinggi untuk menguasai alam, serta memiliki rasa kemandirian yang kuat.
3)    Orientasi nilai budaya transisional
Orientasi nilai budaya ini merupakan peralihan dari nilai budaya konservatif ke nilai budaya progresif. Nilai budaya transisional ini ditandai sebagai dengan memandang hidup itu baik, kerja dilakukan untuk mendapatkan kedudukan, orientasi waktu ke masa kini, serta memiliki hubungan kolektif yang kuat.


DAFTAR PUSTAKA


Felly, Usman dan Asih Menanti. (1994). Teori-teori Sosial Budaya. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan Dirjen Dikti Depdikbud.

Harsojo. (1970). “Kebudayaan Sunda”, dalam Koentjaraningrat. (1970). Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Harsojo. (1988). Pengantar Antropologi. Bandung: Binacipta.

Horton, Paul B dan Chester L. Hunt. (1996). Sosiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Koentjaraningrat. (1990). Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI Press.

Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.

Koentjaraningrat. (1994). Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kuntowidjojo. (1988). Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Poespoprodjo, W. (1999). Filsafat Moral (Kesusilaan dalam Teori dan Praktek). Bandung: CV. Pustaka Grafika.

Soekanto, Soerjono dan Soelaeman B Taneko. (1981).

Soekanto, Soerjono. (1983). Pribadi dan Masyarakat. Bandung: Alumni.

Soekanto, Soerjono. (2003). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Soemardjan, S dan Soelaeman Soemardi. (1964). Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Suparlan, Parsudi (ed). (1993). Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Suseno, Franz Magnis. (1987). Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Jakarta: Kanisius.

Taneko, Soelaeman B. (1984). Hukum Adat. Bandung: Eresco.

Tasmara, Toto. (2002). Etos Kerja Pribadi Muslim. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Warnaen, Suwarsih. (1988). “Pandangan Hidup Orang Sunda: Satu Hasil Studi Awal”, dalam Harsja W. Bachtiar et all. (1988). Masyarakat dan Kebudayaan (Kumpulan Karangan untuk Prof. Dr. Selo Soemardjan). Jakarta: Penerbit Djambatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Entri Populer